Harder Level


Jadi sekarang aku tahu, kenapa aku tidak menjadi mahasiswa s1 di universitas terbaik itu.  Aku tahu kenapa aku diterima di kampusku sekarang. Jawabannya sederhana sekali, karena aku dipercaya untuk menjadi hebat dan sukses dengan jalan yang lebih susah. Ibarat game yang goalnya adalah menjadi sukses, kalau aku tetap di Jogja dan diterima di universitas terbaik itu, aku hanya akan menjalani game di level medium. Sedangkan di sini, aku sedang menjalani hard level.
Jika kulihat lagi ke belakang, aku jadi semakin yakin. Di madrasah aliyahku, aku bukan anak terpintar memang. Tapi untuk pendaftar SNMPTN dengan tujuan Universitas X, jurusan psikologi, guru BK mengatakan aku adalah pendaftar dengan nilai tertinggi. Sekolahku bukan sekolah terbaik, tapi kami mampu bersaing dengan sekolah negeri lain. Sebelumnya, kakak kelasku ada yang diterima di psikologi UX jalur SNMPTN. Guruku bilang, kalau sudah ada yang diterima, kemungkinan besar UX akan menerima lagi dari sekolah yang sama, minimal sejumlah kakak kelas yang diterima tahun lalu. Tapi saat aku mendaftar, hasilnya mengecewakan. Setelah diusut, ternyata memang terjadi perbedaan sistem dari tahun-tahun sebelumnya. Hampir tidak ada siswa lulusan madrasah yang diteriman di UX jalur pertama itu. Cukup membuat sakit hati.
Sejak saat itu, UX tidak lagi seberkilau dulu di mataku. Bukannya aku membencinya, aku tetap suka UX karena lingkunganku dulu memang benar-benar UX banget. Teman-temanku, sahabatku juga banyak yang mahasiswa UX. Tapi untuk yang saat itu, aku merasa UX seperti universitas kebanyakan, yang mementingkan gengsi. Stereotip untuk madrasah hingga kini adalah kualitasnya lebih buruk dari sekolah negeri. Mereka terlalu meremehkan, menurutku. Apa bedanya dengan stereotip dunia kepada Indonesia yang lebih buruk kualitasnya dari negara-negara lain? Kalau tidak mau direndahkan, berhenti merendahkan orang lain, sekecil apa pun itu. Kalau di agamaku, dalilnya begini: “Tidak akan masuk surga orang yang memiliki sifat sombong dalam hatinya, walaupun hanya sekecil semut hitam.” Adapun sombong itu maksudnya meremehkan pada orang lain.
Lalu aku yang sakit hati pada UX mencoba mencari sebanyak mungkin kelebihan dari kampusku sekarang. Menggali potensi yang ada dalam keterbatasan yang sangat jauh berbeda dengan UX. Aku belajar menerima, belajar menghilangkan sakit hati itu dan belajar mengetahui hikmah dibalik ini semua. Ternyata inilah hasilnya. Kita semua adalah orang hebat dan calon sukses, dengan jalan kita masing-masing.
Berhenti menganggap satu hal terlalu hebat hingga jika kau tidak mendapatkannya, maka kau tidak akan sukses. Dalam hal ini, aku pun tidak lagi menganggap menjadi mahasiswa UX adalah satu-satunya jalan menjadi sukses. Menjadi mahasiswa UX mungkin memang memudahkan kita untuk menjadi sukses. Berarti kalau kau yakin kau adalah orang yang sukses, meski kau tidak diterima di UX sekalipun, kau pasti akan sukses. Bahkan jalan yang kau hadapi lebih terjal berbatu. Ingatkah kau, bagaimana jalan menuju puncak gunung yang indah tiada banding? Tak lain adalah tanah curam penuh batu dan berisiko, bukan jalan aspal mulus tanpa beban di punggung.
Cita-cita itu hasil pemikiran idealis kita, dan semua yang terjadi di kenyataan adalah sebagian kecil dari idealisme itu. Bahkan seorang ilmuan berkata bahwa idealisme itu hanya ada dalam pikiran dan kenyataan adalah bukanlah sesuatu yang diidealkan. Mungkin seperti kesempurnaan, yang hanya ada dalam khayalan. Tapi bukan berarti kita tidak boleh bercita-cita yang hebat. Seperti kata-kata favoritku dari Bung Karno, “Bercita-citalah setinggi langit, agar jika terjatuh, maka akan jatuh diantara bintang-bintang.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Langit

I See The Moon