Segelas Cinta
“Ishaq, kamu
sudah besar. Kamu sudah lulus kuliah dan dapat kerja. Ibu ingin segera
menggendong cucu. Kamu anak satu-satunya dan sekarang ibu sudah tua,” wanita
setengah baya itu mengelus kepala seorang pemuda yang ia harapkan segera
memberinya cucu. Ishaq menatap ibunya yang menurutnya belum terlalu tua.
“Ummi masih
cantik, belum tua,” ujarnya lembut sambil tersenyum.
“Tapi ummi sudah
tidak sabar, Nak. Kamu kan sering mengajar Al-Quran di masjid An-Nur. Banyak pemudi
yang kamu temui di sana. Insya Allah mereka shalihah. Pilihlah satu. Ibu
percayakan padamu, Nak.”
Ishaq
menerawang. Sebetulnya ia belum ingin menikah. Tetapi ia lebih tidak ingin
mengecewakan ibunya. Tiap menatap ibunya, yang terpikirkan hanyalah bagaimana
cara membuatnya bahagia. Ayahnya telah tiada sejak tiga tahun lalu. Di masa
kanak-kanaknya dulu, Ishaq sering membuat ibu dan bapaknya marah. Mencuri
mangga tetangga, membentak-bentak orang tua jika tidak diikuti kemauannya
bahkan ia pernah berkelahi dengan temannya hingga babak belur. Padahal ketika
itu dia masih kelas satu SMP dan lawannya adalah anak kelas lima SD. Ketika
menginjak remaja barulah ia mulai insaf, patuh dan berbakti pada orang tua.
Setiap mengenang masa-masa nakalnya dulu, ia selalu menyesal telah membuat malu
keluarganya dan menyakiti hati ibunya. Ia ingin menebus kesalahannya di masa
lalu meski kedua orang tuanya telah lama memaafkan. Akhirnya ia hanya
mengangguk pelan dan memberi senyumnya pada sang ummi.
“Insya Allah,
ummi.”
.oOOOo.
Sore itu Ishaq
menuju masjid tempat ia mengajar. Ishaq semasa SMA belajar di pesantren
sehingga mempunyai ilmu agama yang cukup. Ia sering diminta mengajar di masjid
itu karena selain di sana kekurangan ustadz, Ishaq juga merupakan pemuda yang
memiliki pengaruh besar. Remaja masjid terorganisir dengan baik setelah ia
menjadi ketuanya, enam tahun yang lalu. Para pemuda-pemudi di lingkungan itu
telah cukup berubah menjadi lebih baik dan terjaga keimanannya.
Ia mendapat
pekerjaan persis setelah lulus kuliah dan kini ia memasuki tahun keduanya dalam
pekerjaannya. Ishaq pemuda yang gagah dan tampan. Ia juga dewasa dan kini telah
mapan. Ia benar-benar cocok untuk segera menikah. Tetapi ia selalu menolak
segala bentuk pendekatan yang dilakukan perempuan yang bukan mahramnya, jika diketahui itu hanya
mengarah pada maksiat. Ia selalu berusaha menyucikan niat dan hatinya. Ia masih
ingin hidup bebas bersama ibunya. Apalagi setelah ayahnya tiada.
TING TING
TING... suara dentingan sendok besi dan mangkok dari gerobak bakso melewati Ishaq
menuju pekarangan masjid yang tinggal beberapa meter di depannya. Penjual bakso
itu disambut meriah oleh anak-anak yang baru selesai TPA. Ishaq melihatnya
sambil tersenyum. Diantara mereka ada seorang gadis yang ia tahu adalah
pengajar anak-anak itu. Gadis pualam yang ceria. Wajahnya terlihat masih sangat
muda dibanding dengan Ishaq yang dewasa. Tetapi Ishaq sendiri tahu sebenarnya
mereka hanya berjarak dua tahun.
“Mas, Mas Ishaq?”
seseorang membuyarkan lamunan Ishaq. Ishaq menoleh. Ternyata Rusydi, ketua
remaja masjid yang sekarang. Dua tahun yang lalu ia menyerahkan jabatannya sebagai
ketua remaja masjid ketika ia diterima bekerja di sebuah perusahaan.
“Kenapa, Di?”
tanya Ishaq. Tetapi Rusydi tidak langsung menjawab. Ia malah tersenyum
menggoda.
“Habis ngeliatin
siapa, hayoo? Mbak Tisya, ya?” Rusydi menyebut nama gadis tadi. Ishaq sempat
kaget, tetapi ia langsung memasang wajah seriusnya.
“Sudah, jangan
bikin fitnah,” tegas Ishaq. Rusydi jadi kaget. Biasanya ustadz satu ini sangat
ramah dan suka bercanda. Tidak biasanya.
“Ehm. Gini, lho,
Mas. Nanti itu agenda kita selain Alquran, ada kisah teladan. Kami minta tolong
supaya Mas aja yang menyampaikan. Tapi ini beda, Mas. Untuk menyikapi maraknya
pergaulan bebas remaja sekarang ini, kita mau bikin kisah itu jadi kisah cinta
yang so sweet tapi islami. Ini
narasinya, Mas. Mas baca aja dulu, nanti improvisasi sendiri aja waktu
menceritakannya,” Rusydi menjelaskan.
Ishaq tersenyum
sambil mengangguk-angguk. Ia senang di tempat tinggalnya para pemuda sangat islami
sehingga betul-betul berusaha menjaga dirinya. Ia bangga dan berharap di
tempat-tempat lain, pemudanya juga harus bisa menjaga diri dan pergaulannya.
Sebab para pemudalah yang akan mengambil peran penting di masa yang akan
datang.
Allahu akbar, Allahu akbar...
Muadzin berseru
atas panggilan Allah pada hamba-hamba-Nya di pertemuan wajib keempat di hari
itu. Ishaq mengambil air wudhu lalu sholat berjama’ah. Setelah selesai sholat,
pengajian remaja pun dimulai. Para muda-mudi dengan antusias mendengarkan. Ishaq
menyampaikan makna Al-Quran perkata lalu diterangkan makna tiap ayatnya.
Waktu isya’
tiba. Pengajian dihentikan untuk sholat dan istirahat. Ishaq keluar sambil
membawa teh hangat yang disuguhkan padanya ketika mengajar tadi. Ia berdiri di
tepi beranda masjid. Ternyata beberapa anak perempuan sedang membeli bakso
tusuk. Dengan ceria, mereka makan sambil berbincang dan bercanda. Mereka duduk
di bangku yang menghadap masjid sehingga Ishaq bisa tahu diantara mereka ada Tisya.
Ishaq meminum tehnya beberapa teguk lalu meletakkannya di meja di sebelahnya.
Ia mengalihkan tubuhnya membelakangi gadis-gadis tadi, bersandar di tembok
setinggi kaki di belakangnya.
“Huuuhaa
huuhaaa. Mas, maaf, minta minumnya, ya? Pedes banget, nih!” terdengar suara
seseorang di belakangnya tiba-tiba. Ishaq menoleh dan mendapati Tisya dengan
wajah berkeringat kepedasan. Bibir Tisya tersenyum lebar sambil menunggu
jawaban Ishaq. Wajah Tisya sangat lucu, menahan pedas sambil tersenyum
dipaksakan. Ishaq tersenyum kecil dan mengangguk. Tisya tersenyum senang sambil
berterima kasih lalu segera menandas isi gelas Ishaq.
Namun tiba-tiba Ishaq
menyadari sesuatu. Ia kemudian mengamati Tisya yang sedang meneguk minumannya. Ishaq
memandang Tisya dengan raut wajah aneh. Cukup lama, bahkan ketika Tisya selesai
menghabiskannya. Ganti Tisya yang heran. Apa
mukaku aneh, ya? Oh iya, ya. Aku kan lagi kepedasan. Aduuuh, mukaku mesti jelek
banget nih. Pantesan Mas Ishaq ngeliatinnya aneh gitu. Ah, peduli amat! Cuma Mas
Ishaq juga!
“Makasih, Mas,”
ucap Tisya kemudian langsung berlalu menyusul teman-temannya yang telah lebih
dulu ke tempat wudhu. Ishaq menunduk dan istighfar. Jantungnya berdegup amat
kencang. Tak punya keberanian untuk mengetahui hal yang akan terjadi nanti.
.oOOOo.
“Nah, teman-temanku
sekalian,” Rusydi menjadi MC sebelum kegiatan dimulai lagi setelah sholat isya.
“Malam ini spesial. Malam minggu ini kita punya acara seru. Mari saya bacakan
acaranya. Yang pertama ada kisah cinta seorang sholihin yang akan disampaikan oleh ustadz kita, Mas Ishaq. Yang
kedua ada game, dan bagi pemenangnya nanti akan mendapat hadiah. Terakhir
penutupan berupa nasehat dari Bapak Ismail. Memasuki acara pertama, kepada Mas Ishaq
kami persilahkan,” Rusydi turun dari bangku pengajar.
Ishaq tak
kunjung beranjak dari duduknya hingga Rusydi menyikutnya. Ishaq pura-pura tidak
sadar kalau sudah ditunggu karena terlalu serius membaca narasi. Tetapi
sebenarnya ia tidak tenang selama Rusydi berbicara panjang lebar tadi. Sekarang
pun ia merasa belum siap dan tidak akan pernah siap untuk berbicara di mimbar.
Rasanya ia ingin digantikan oleh yang lain saja. Tetapi ia harus realistis.
Amanah ini adalah kewajibannya. Ia pun beristighfar menenangkan diri lalu
segera maju ke meja pengajar dengan sewajar dan sebiasa mungkin.
“Assalamu’alaikum
wa rahmatullah wa barakatuh,” ucapnya membuka acara. Para muda-mudi menjawab
salamnya. Anak-anak perempuan selalu senang ketika Ishaq maju ke depan. Mereka
bisa bebas mencuri-curi pandang pada wajah tampan Ishaq. Tetapi tidak semua
anak perempuan seperti itu. Banyak juga diantara mereka yang menjaga
pandangannya karena mereka tahu pandangan yang haqq bagi mereka hanyalah pandangan yang pertama, itu pun tidak
lebih dari dua detik.
“Baiklah, di
sini, sesuai dengan yang dibacakan Mas Rusydi tadi, saya akan menceritakan
sebuah kisah islami nan romantis,” Ishaq mencoba tersenyum. Beberapa anak
bersorak menggoda. Ia betul-betul tidak berani memandang ke bagian kiri hijab
yang berisi anak-anak perempuan. Saat itu Tisya sedang memegang pena dan
bukunya. Ia ingin mencatat baik-baik kisah romantis kali ini agar bisa menjadi
inspirasi. Ia berkonsentrasi penuh mendengarkan cerita, tidak seperti beberapa
temannya yang malah berkonsentrasi memperhatikan Ishaq.
“Dimulai dari
sebuah negeri di bumi para nabi, seorang yang sholih yang sejak mudanya telah
menghafal Al-Quran. Ia menjadi pengajar di majlis taklim di daerahnya. Ketika
menginjak dewasa, ia menjadi idola dari para gadis sebab kesholihan dan
ketampanannya. Mereka mulai berlomba-lomba mencari perhatiannya. Pemuda itu
juga merasa ingin menikah, namun ia bingung memilih. Ia belum menemukan gadis
yang dapat membuatnya jatuh hati. Kedua orang tuanya menyuruhnya untuk meminta
petunjuk pada Allah.
“Akhirnya ia
sholat dan bermunajat kepada Allah. Ia minta diberi petunjuk langsung oleh
Allah tentang siapa yang sebaiknya menjadi jodohnya. Suatu ketika ia baru
selesai mengajar. Ia meminum minuman yang disuguhkan padanya beberapa teguk sehingga
isinya tinggal setengah. Lalu seorang murid perempuannya meminta air di gelas
milik pemuda itu karena ia sedang sangat haus. Pemuda itu memberikan kepadanya.
“Pemuda itu
seperti baru pertama kali melihat gadis tadi. Padahal sebenarnya gadis itu
adalah teman sepermainan saat kecil. Gadis rupawan yang tidak seperti perempuan
kebanyakan yang menginginkan dirinya. Pemuda itu lalu jatuh cinta kepadanya.
Dan kemudian Allah menakdirkan mereka menikah karena mereka memang berjodoh.”
Para muda-mudi
menjadi ribut sendiri. Anak-anak perempuan mengatakan itu sangat so sweet dan berharap bisa mempunyai
cerita so sweet mereka sendiri.
Tetapi tidak bagi Tisya. Ia seketika itu juga berhenti menulis. Terpaku pada
apa yang baru saja ia dengar. Hatinya merasakan sesuatu yang membuat perutnya
sakit, seperti ketika ia akan maju presentasi tanpa menguasai materi yang akan
disampaikan. Ia melirik teman-temannya yang sama sekali tidak sadar pada apa
yang dirasakan Tisya. Memang sepertinya tidak ada yang tahu kalau tadi Tisya
yang kepedasan meminta minum pada Ishaq.
Ishaq sendiri
sempat melihat perubahan Tisya yang tiba-tiba berubah diam seperti patung.
Menutup wajahnya dengan buku di tangannya. Entah mengapa Ishaq seperti merasa
bersalah. Tetapi ia berani bersumpah tidak sengaja membiarkan Tisya meminum
minumannya. Ia baru sadar ketika Tisya meneguk teh itu. Ini yang Ishaq takutkan
tadi. Tapi ia bersyukur, tidak ada yang tahu kejadian tadi, sehingga tidak ada
yang memperburuk keadaan.
“Oke, di sini Rusydi
kembali pegang kendali,” Rusydi kembali menjadi pembawa acara. “Tahu hikmah
dari cerita itu, kan? Memilih jodoh itu tidak dengan cara dicari dalam arti
kita mendekati lawan jenis yang bukan mahram, terus diajak sms-an, telepon-teleponan,
pacar-pacaran dan seterusnya. Tapi sebaiknya kita minta pada Allah. Menyerahkan
semuanya pada Allah. Toh, sebelum kita lahir jodoh kita udah ditulis di lauhil
mahfudz. Teman-teman gak perlu takut jadi perawan tua ataupun perjaka tua,” Rusydi
menutup sesi cerita dengan memberi hikmah cerita.
Rusydi kemudian
melanjutkan ke sesi berikutnya, game. Sementara yang lain mendengarkan, Ishaq
yang duduk di sebelah Pak Ismail sibuk beristighfar.
“Nak, apa kamu pernah
berinteraksi dengan Tisya?” tanya Pak Ismail tiba-tiba membuat Ishaq agak
terkejut. Apalagi nama yang disebutkan adalah Tisya.
“Kalau sekerdar
berbicara pernah, Pak. Tapi sangat jarang. Kami bertemu di forum rapat remaja
masjid atau rapat pengajar. Saya juga tidak punya nomor ponsel Tisya. Ada apa,
Pak?” Ishaq penasaran. Ia juga baru sadar kalau Pak Ismail ini adalah ayah Tisya.
“Sebentar lagi Tisya
diwisuda. Dia juga sudah dewasa. Dia anak yang sholihah. Patuh pada orang tua.
Selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Selalu berusaha membuat senang
orang tuanya. Belakangan ini dia kelihatan berbeda. Kamu tahu kenapa?” Pak
Ismail menoleh pada Ishaq. Ishaq tergagap. Dengan cepat ia menggeleng.
“Ada teman
laki-lakinya yang melamarnya. Ia bilang, ia tertarik pada Tisya karena prestasi dan kehalusan budi Tisya.
Anak itu dari keluarga terpandang. Kakak angkatan di kampusnya. Mewarisi harta
dan perusahaan orang tuanya. Hanya saja Tisya tidak menyukainya karena dia
bukan pemuda yang sholih. Tisya tahu, kakak angkatannya itu suka merokok,
gonta-ganti pacar dan sombong.
“Tisya
menolaknya dengan halus. Tetapi pemuda itu memaksa dan meminta orang tuanya
langsung yang melamar Tisya. Saya sudah berusaha menolak. Tetapi, orang tua
anak itu bersikeras menanyakan alasan. Padahal saya tidak mungkin blak-blakan
mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki akhlak dan moral. Sehingga kami
terpaksa berbohong bahwa Tisya sudah dilamar orang lain dan akan menikah begitu
Tisya selesai di wisuda,” Pak Ismail berhenti sejenak. Ishaq bergetar hatinya.
Sungguh, ia tidak rela gadis sholihah yang baik hati seperti Tisya menikah
dengan pemuda seperti itu.
“Hingga sekarang
saya masih bingung, siapa yang sebaiknya menjadi suami anak bungsuku itu. Saya
selalu berdoa agar segera diberi petujuk tentang siapa yang akan menjadi
pendamping hidup Tisya. Lalu setelah saya pikir-pikir, saya berharap Nak Ishaq
ini...” ucapan Pak Ismail berhenti tiba-tiba ketika Rusydi telah berada di
depannya dan Ishaq.
“Pak Ismail,
silahkan mengisi nasihat,” kata Rusydi. Pak
Ismail menengok pada Ishaq, lalu berkata pelan,
“Nak, besok sore
datanglah ke rumah.”
.oOOOo.
Esok sorenya
Ishaq berul-betul berangkat menuju rumah Pak Ismail. Ia mengajak Ibundanya
tercinta. Ibunya memakai baju yang sederhana namun indah. Membuatnya tampak anggun
dalam kesederhanaannya. Sedangkan Ishaq sendiri memakai baju muslim santai.
Angin sepoi menerpa rambutnya, memberi kesejukan hingga ke sanubari. Tinggal
beberapa langkah lagi, mereka akan sampai di pagar rumah yang dituju.
Di halaman rumah
itu ada seorang gadis sedang menjaga dua anak kecil yang bermain. Gadis itu
adalah Tisya dan anak-anak yang bersamanya adalah keponakannya. Hati Ishaq
berdesir melihatnya. Ia dan ibunya mengucapkan salam begitu telah dekat.
“Wa’alaikumussalam,”
ucap Tisya. Ia membukakan pagar dan menyalami ibu Ishaq penuh ta’dzim.
“Orang tuamu
ada, Nduk?” kata ibu Ishaq.
“Inggih, Bu. Silahkan masuk,” Tisya
mempersilahkan.
“Wah, Bu Laila
dan Nak Ishaq. Silahkan, silahkan. Wah, saya kedatangan tamu agung,” sapa Pak Ismail. Ishaq dan ibunya merasa
tersanjung. Pak Ismail selalu memuliakan tamunya.
“Terimakasih,
Pak. Kami ingin menyambung silaturahmi,” kata Ishaq. Pak Ismail tersenyum penuh
sahaja. Dengan suaranya yang berat ia berkata,
“Oh, kebetulan
sekali, saya juga ingin betul-betul menyambungkan silaturahmi diantara kita.”
Saat itu Tisya
keluar membawakan minuman. Setelah memposisikan gelas di hadapan masing-masing
orang, Tisya hendak kembali masuk, tetapi dicegah oleh ayahnya.
“Nduk, duduk di sini dulu, abah mau bicara,”
kata abahnya. Meskipun agak terkejut, Tisya menurut. Ia duduk di sebelah
abahnya.
“Ishaq, seperti
yang telah saya jelaskan kemarin, dan saya yakin kamu telah memikirkannya
baik-baik. Bagaimana, apakah kamu hendak memberi usulan? Atau kamu sudah
mendapat petunjuk dari Allah tentang siapa perempuan yang baik untukmu dengan
jalan sama persis seperti yang kamu ceritakan tadi malam pada remaja masjid?”
Perkataan Pak
Ismail membuatnya kaget. Ia mengira hanya ia dan Tisya yang tahu tentang
kejadian malam itu. Atau tisya yang cerita ke sang ayah? Sepertinya tidak,
sebab Ishaq sempat menangkap kekagetan Tisya barusan. Ibu Ishaq hanya diam
mendengarkan, meski tidak paham betul dengan perbincangan mereka.
“Iya, saya lihat
kalian kemarin malam seperti mempraktekkan bagian dari isi cerita. Tisya
kehausan dan meminta minum pada Ishaq,” kata Pak Ismail.
“Tapi, Abah,
Tisya bener-bener gak tahu kalau cerita yang akan disampaikan Mas Ishaq seperti
itu. Cerita itu baru Tisya dengar pertama kali tadi malam,” Tisya membela diri.
“Saya juga lupa
dan betul-betul tidak sadar kalau cerita yang saya sampaikan begitu adanya.
Saya minta maaf,” ucap Ishaq. Pak Ismail malah tertawa.
“Sudah, kalian
tidak salah. Sekarang saya tanya, apakah kalian mau menyempurnakan cerita itu
dalam kehidupan nyata kalian? Bagaimana, Nak Ishaq?” Pak Ismail menoleh pada
Ishaq.
“Maksud Bapak,
kami akan melaksanakan pernikahan? Seperti dalam cerita?” Ishaq tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejutnya. Tetapi hatinya bergetar merasakan sesuatu yang
indah menyejukkannya. Pak Ismail mengangguk.
Ishaq menghadap
ibunya, meminta restu dan persetujuan. Sang ibu tersenyum dan mengangguk. “Ibu
tahu kalian sama-sama menjaga. Ibu ridha kamu dengan Tisya. Dia anak baik yang
sholihah.”
“Bagaimana dengan
kamu, Nduk?” Pak Ismail kini bertanya pada anaknya. Tisya diam dan menunduk
dalam. Bibirnya tersenyum. Kemudian ia mengangguk pelan. Ia tidak mungkin
menolak laki-laki seperti Ishaq. Terutama karena ia memang telah menyerahkan
masalah ini kepada kedua orang tuanya.
Alhamdulillaaah, desis Ishaq dalam hati. Ibu Ishaq dan bapak Tisya
tertawa bahagia. Ishaq memandang Tisya yang tersenyum malu dalam rangkulan
abahnya. Ia sangat bersyukur dengan rahmat yang Allah berikan kepadanya. Baru
satu hari ibunya memintanya menikah dan ia bingung mencari siapa wanita yang tepat, kini ia
telah mendapatkannya. Melalui segelas penuh cinta. 
Komentar
Posting Komentar