Kisah Si Dua Puluh Tiga
Suatu hari dosenku, Pak Aji,
mengajarkan tentang peran ilmu dalam kehidupan. Pelajaran yang cukup membuat
bosan apalagi dilakasanakan di siang hari dalam keadaan lapar. Tetapi kemudian
Pak Aji menceritakan pada kami sebuah cerita yang sungguh menggugah. Silahkan
simak ceritanya di bawah ini.
*OoO*
Seorang anak berumur dua belas tahun
menyerahkan rapor terakhirnya di tingkat sekolah dasar kepada sang ibu. Ibunya
melihat ranking yang tertara di buku bersampul warna merah itu. Peringkat ke dua puluh tiga lagi, gumam
ibunya dalam hati. Sang anak terlihat santai dan biasa saja. Sudah dua belas
semester anaknya bersekolah dan ia selalu menjadi peringkat ke dua puluh tiga
sehingga teman-temannya pun memanggilnya ‘Si Dua Puluh Tiga’. Sang ibu
memutuskan untuk berkonsultasi pada seorang psikolog.
Keesokan harinya, ibu itu datang
pada seorang psikolog dan memberi tahu masalahnya bahwa anaknya selalu menjadi
peringkat ke dua puluh tiga dalam dua belas semester di sekolah dasar. Sang ibu
tidak habis pikir, karena anaknya tidaklah bodoh. Ia tahu anaknya cerdas dan
seharusnya anak itu bisa meningkatkan prestasinya. Oleh sang psikolog, ibu itu ditanya
bagaimana keseharian anaknya di sekolah.
Ternyata, Si Dua Puluh Tiga
merupakan anak yang baik di kelas. Ia adalah anak yang memiliki empati yang
kuat pada semua teman-temannya. Ia akan ikut repot ketika seorang temannya
kehilangan penghapus. Ia akan mengajari dengan sekuat tenaga ketika temannya
tidak mengerti suatu pelajaran tertentu. Ia menganggap, apa yang temannya
butuhkan saat memintainya tolong adalah sesuatu yang ia butuhkan juga.
Ujian nasional usai dan tiba saatnya
pemberitahuan hasil ujian tersebut. Para orang tua siswa yang mendapat
peringkat atas ditelepon oleh pihak sekolah. Pagi itu, ibu Si Dua Puluh Tiga
juga mendapatkan telepon dari sekolah anaknya. Sang ibu memperkirakan Si Dua
Puluh Tiga akhirnya mendapatkan peringkat yang membanggakan.
“Bu, kami ingin mengabarkan mengenai
peringkat anak ibu, Si Dua Puluh Tiga,” ujar Bu Guru.
“Iya, Bu. Ada apa dengan peringkat
anak saya?” tanya ibu Si Dua Puluh Tiga, menyembunyikan rasa penasaran dalam
hatinya.
“Anak ibu mendapatkan peringkat ke…”
ucapan Bu Guru menggantung, membuat ibu Si Dua Puluh Tiga makin penasaran. “Ke
dua puluh tiga, Bu. Seperti biasanya,” lanjut Bu Guru dengan santainya. Berbeda
dengan ibu Si Dua Puluh Tiga yang menjadi kecewa seketika.
Lalu untuk apa saya ditelepon? Pikirnya dalam hati.
“Tetapi saya ingin memberi tahukan
hal lain yang menyangkut anak Ibu,” kata Bu Guru lagi, menyalakan kembali api
penasaran dalam benak ibu Si Dua Puluh Tiga yang tadi sempat padam.
“Ya, ada apa, Bu?”
“Anak Ibu menjadi anak yang paling
dicintai oleh teman-temannya. Kami pernah memberi kuesioner pada murid-murid
tentang siapa teman yang paling mereka sayangi dan hampir seluruh anak memilih
Si Dua Puluh Tiga. Saya ucapkan selamat pada Ibu. Ini merupakan prestasi yang
belum pernah diraih oleh anak lain sebelumnya. Ibu boleh bangga pada anak Ibu,”
tutur Bu Guru dengan tulus. Ibu Si Dua Puluh Tiga lalu menangis dengan haru.
Sorenya, Si Dua Puluh Tiga
berbincang dengan ibunya. Setelah mengorek-orek tentang kehidupan anaknya di
sekolah, sang ibu mendapatkan jawaban langsung dari anaknya mengapa ia tidak
pernah naik dari peringkat ke dua puluh tiga.
“Aku gak pengen jadi pahlawan, Bu,”
ucapnya polos. Sang ibu diam mendengarkan. Ia yakin anaknya baru memulai
penjelasannya. “Seseorang bisa jadi pahlawan, kan, kalau ada orang lain yang
bertepuk tangan buat dia. Biarlah teman-temanku yang jadi pahlawan. Aku bakal
ngasih tepuk tanganku buat mereka. Sama kayak ranking. Biar ada ranking satu,
dua, tiga, harus ada yang jadi ranking dua puluh tiga. Biarlah aku yang jadi
ranking dua puluh tiga itu, Bu.”
*OoO*
Cerita yang cukup mengharukan ya?
Banyak sekali pesan yang bisa kita ambil dari cerita sederhana itu. Si Dua
Puluh Tiga bukan anak yang bodoh. Ia bisa jadi peringkat pertama jika saja ia
tidak sayang pada teman-temannya. Ia menguasai prestasi akademik, hanya saja
tidak menunjukkannya pada pihak sekolah sebagai penilai. Lebih dari sekedar
bidang akademik, prestasi yang diraih Si Dua Puluh Tiga adalah bidang
sosialisasi yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ya, tidak semua orang
bisa bersikap baik pada orang lain meskipun hanya pura-pura. Tidak semua orang
bisa. Si Dua Puluh Tiga mengajarkan kita bagaimana hidup akan menjadi indah
ketika semua orang menyayangi kita dan cara untuk meraihnya adalah terlebih
dahulu menyayangi orang-orang lain di sekitar kita. J
*oya, tapi jangan berlomba2 jadi
yang ke 23 juga kali yaa :3 tetep harus jadi yang terbaik, tanpa harus bersaing
dengan tidak sehat. Tanpa meninggalkan sikap rukun dan saling menyayangi.
*satu lagi, aku ngerasa si 23 itu
hebat banget. Setuju? Haha. Hebat banget, dia bisa betul2 dapetin posisi ke 23
selama 12 semester. Bayangin aja dia harus selalu ngitung, berapa soal yang
harus ia jawab salah atau benar. Seberapa dia harus aktif atau pasif di kelas
dan seberapa sering ia menunjukkan kalau ia pintar atau bodoh selama waktu
pembelajaran itu, biar dia bisa jadi pas yang ke 23. Hohohoho… bercanda…
hehehe.

Komentar
Posting Komentar