Krisis Akhir Bulan. Hahaha.
Ini ceritaku di akhir bulan.
Betul-betul akhir di bulan ini. Krisis keuangan terjadi. Aku bukan orang yang
boros. Aku tidak suka ke mall. Tidak suka beli sesuatu yang mahal. Sangat
nyaman dengan kesederhanaan dan apa adanya. Aku bangga jika saja ternyata biaya
hidupku sangatlah murah. Berarti kemampuan bertahan hidupku tinggi, kan?
Hahahaha.
Terutama, aku tidak mau lama-lama dihitung harta-benda-duniawiku di
akhirat nanti. Bikin lama masuk surga. Walaupun aku tau, tidak ada yang
menjamin aku tetap begini di masa depan nanti. Misalnya saat aku sudah
berkeluarga. Nah, ternyata tetap saja uang dikirimkan bapakku belum cukup untuk
sebulan ini. Eh, sebentar. Sebetulnya cukup sih. Cuma bulan ini aku punya
beberapa keperluan memerlukan banyak uang, sekitar Rp150.000,00. Itu cukup besar
dari total kiriman orang tuaku yang berjumlah sekitar Rp650.000,00 sampai
Rp800.000,00.
Nah, selama beberapa hari itu, aku
pinjam uang dari teman sekosku lima ribu. Dan itu cukup buat beberapa hari. Aku
beli tempe di pasar. Cuma dua atau tiga ribu. Itu bisa buat seharian.
Untungnya, persediaan beras di kamarku masih ada. Jadi aman, deh. Aku jadi
ngerasain yang kayak Yudi dan Diki, teman kampus seperjuanganku ceritakan,
bahwa mereka bisa ngeluarin duit cuma tiga ribu sehari. Hahaha. Dasar
cowok-cowok!
Terus, aku benar-benar kehabisan
uang. Sayangnya aku ke kampus tidak bawa dompet. Lupa. Padahal aku ingin
mengecek saldo di atmku. Jika setidaknya ada seratus ribu, aku bisa hidup lebih
normal tanpa menunggu awal bulan, kan? Aku ke kampus tanpa membawa uang sepeser
pun. Aku ingin pinjam uang. Tapi aku tidak mau menceritakan kondisiku kepada
orang lain, selain beberapa temanku. Padahal, teman-temanku itu juga anak kos yang
aku suka khawatir mereka kurang uang. Jadilah aku hanya menahan dalam diam.
Tetapi nyatanya aku bisa melalui
semua itu. Dari temanku membayarkan fotokopianku, membagiku makanannya atau
hal-hal beruntung lainnya. Alhamdulillah pokoknya. Besoknya aku pun membawa
dompetku dan megecek saldo rekeningku di ATM. Sambil takut-takut melihat, aku
bersorak riang dalam hati! Tertera angka 125.000 sebagai jumlah uangku di
rekening saat itu. Segera kuambil lima puluh ribu. Aku pun keluar dari ATM dengan
wajah ‘akhirnya aku punya uang’. Hehehe.
Di perjalanan pulang, aku tergiur
melihat buah-buahan yang di pajang di etalase penjual jus buah yang ada di
pinggir jalan. Saat itu siang terik dan aku ingat, belakangan ini aku jarang
sekali mengonsumsi buah. Maka aku mampir ke penjual jus itu dan membeli jus
alpukat. Murah, cuma empat ribu. Di dekat situ, ada toko kelontong dan aku
masuk ke dalamnya. Membeli satu bungkus cemilan dan sebotol minyak goreng, hilang
sudah lima belas ribu. Aku segera kembali ke kos. Di depan pintu aku dihadang
oleh bendahara kosku, menagihku kas bulanan. Lima ribu lagi melayang. Setelah beristirahat
sebentar, aku ingat harus mengerjakan tugas dan butuh koneksi internet. Aku harus
membeli paket wi-fi kos. Sekalian saja yang sepuluh ribuan.
Saat tiba waktunya makan malam, aku
melihat isi kantong hartaku dan terbelalak mendapati hanya ada lima belas ribu
di sana! Kesimpulannya, ternyata untuk anak sepertiku, lebih mudah bertahan
hidup tanpa uang selama lima hari dari pada mempertahankan uang lima puluh ribu
dalam sehari. Hahaha. Setidaknya aku bisa introspeksi diri. Untung saja aku
selalu mencatat pengeluaranku di jurnal dalam excel. Cukup membantu untuk
mengawasi belanjaku agar tidak berlebihan. Aku ingin berlatih menabung agar
tidak pernah kehabisan uang. Rasanya menyedihkan sekali kalau tidak punya uang
sama sekali. Tapi, kawan, uang bukan motivasi utama, oke? Kebahagiaanlah yang
paling tepat untuk dijadikan motivasi. Bukan sekedar materil.

Komentar
Posting Komentar