Budaya Objektivistik dan Seorang Terapis
Pertemuan pertama sebuah matakuliah yang sangat membuat mahasiswa antusias di semester
ini membahas sesuatu yang menarik dan menjadi pengetahuan baru bagiku. Bahwa budaya yang ada saat
ini amat dipengaruhi oleh objektivistik. Begitu kata dosenku, seorang psikiater
hebat yang amat humanis, menurutku. Beliau seorang psikiater, cabang ilmu
kedokteran. Aku ingat dulu aku ingin menjadi psikiater, menarik sekali.
Sayangnya aku jauh lebih menyukai ilmu yang berhubungan dengan sosial.
Membayangkan nantinya teman sebayaku menjadi psikiater tidak terasa lebih sedih
dari pada mendengar orang lain membicarakan kebudayaan dan nilai sosial
sedangkan aku tidak mempunyai ilmu tentang itu. Untungnya ada konsentrasi psikologi yang
mayornya bercabang dari ilmu sosial. Meskipun tetap ada ilmu eksak yang harus
dipelajari seperti biologi, faal, neurosains, bukan masalah besar selama mau
belajar.
Jauh di masa lalu, seseorang dari Yunani mendefinisikan asal-usul
dirinya seperti ini; “Saya berpikir, maka saya ada.” Itu menjadi dasar mengapa
berpikir menjadi sangat-amat penting hingga saat ini. Dalam proses berpikir terdapat
dua pihak yaitu subjek yang memikirkan dan objek yang dipikirkan. Terjadi
pemisahan antara manusia sebagai agen yang aktif dengan dunia di luar dirinya
sebagai sesuatu yang pasif. Itulah objektifitas. Awalnya yang menjadi objek
berpikir adalah benda mati, namun lama kelamaan manusia pun juga tak luput
menjadi objek. Manusia dipelajari sebagai sebuah objek yang pasif. Berkembanglah
objektivistik yang diiringi dengan perkembangan budaya matrealisasi (segalanya
diukur dengan materi) dan kuantifikasi (segalanya diukur dengan angka).
Tugas seorang terapis kejiwaan (psikolog, psikiater, konselor sosial, dsb.) adalah mensubjektifkan manusia. Karena sebenarnya, manusia bisa
mengalami gangguan jiwa disebabkan oleh proses-proses objektifikasi yang kadang
terjadi tanpa sadar. Salah satu contoh umumnya ialah seperti ini, “Kau payah,
nilai ujianmu hanya 60,” kata A pada B. Si A melepas kemungkinan bahwa yang
mendapatkan nilai lebih tinggi kebanyakan hasil mencontek, sedangkan B tidak
mau mencontek karena ingin benar-benar mengetahui kemampuannya. Bahkan walaupun A tidak menyatakannya langsung pada B, namun dengan sikap yang berbuah dari
pemikirannya pun merupakan tindakan mengobjektifkan manusia.
Selama ini banyak sekali hal-hal yang mengobjektifkan manusia bahkan
mereduksinya. Di sisi kuantifikasi misalnya, para pendaftar kerja di perusahaan
akan direduksi menjadi angka. Bisa IP di hasil kuliah, atau ijasah sekolah.
Seseorang yang mungkin amat cerdas dengan berbagai keunikan yang ada pada
dirinya, hanya dilihat sebagai angka. Seorang klien dari psikiater suatu hari
adalah lulusan terbaik universitas ternama di daerah itu. Ia tentu cerdas dan
menyenangkan. Amat disayangkan bila ia harus direduksi dengan kata ‘bipolar’ di
belakang punggungnya. Labeling, judging avoidance, ya, itu semua
berbahaya. Sadar tidak sadar, anak yang dilabel ‘nakal’ akan mencocokkan
dirinya dengan label yang selalu ia bawa kemana-mana itu, disebut self-fulfiling
prophecy.
Dampak dari budaya objektivitas adalah tontonan yang amat sering kita
jumpai sekarang. Masyarakat yang konsumtif, manik (antusias dan kesemangatan
yang cenderung berlebihan), kejahatan kekerasan, kebohongan pervasif (pada
iklan dan media publik), otonom meredup bahkan dehumanisasi. Pada dunia
psikoterapi pun objektifitas berdampak kurang baik, salah satunya evidence-based
dalam praktek menangani klien hanya diukur kuantitatif, objektif dan deduktif
serta terbatas pada biologis saja. Padahal, seorang yang fobia ketinggian,
setelah diterapi dan mengalami penurunan kecemasan di setiap terapinya (dicatat
oleh terapis sesuai dengan tes yang digunakan), belum tentu setuju jika dikatakan ia telah merasa
baik-baik saja berada di ketinggian.

Komentar
Posting Komentar