Idul Fitri Terbedaku
Dua tahun berlalu sejak 27 Juli 2014 saat aku memosting tulisanku yg berjudul 'pesona hatimu' hahahaha.. Menjadi mahasiswa S1 psikologi sekaligus santri di Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Malang ternyata kurang memberiku kesempatan untuk menulis di sini, sarana pengungkapan perasaanku lewat tulisan. Sibuk sekali dan aku yang kurang menyempatkan diri. Banyak hal yang berubah. Banyak sekali. Dulu aku beralasan sulit mengaplod cerita karena tidak ada laptop. Ketika sudah ada laptop, aku beralasan tidak ada modem. Sekarang, alhamdulillah aku memakai hp untuk memosting ini. See, many things change, right?
Dua tahun lalu aku dengan gembira menyempatkan untuk memosting tulisan sambil mendengar takbiran idul fitri. Percayakah, sekarang pun aku menulis sambil mendengarkan takbiran idul fitri dua tahun kemudian. Bedanya, aku tidak di rumah :') bedanya beda banget, lho..
Aku bukan anak yang mudah mengungkapkan perasaan, sekalipun kepada orang tuaku. Bagaimana aku tega berkeluh kesah tentang kehidupanku di perantauan, sementara mereka jauh di sana. Mereka akan khawatir. Padahal banyak hal yang bisa kusyukuri dan keluhanku tidak berdampak apa-apa kecuali perasaan susah dan berat pada orang tuaku nantinya. Lebih baik aku selalu ceria, mendengarkan cerita mereka tiap menelpon dari pada berkata betapa aku rindu mereka dan ingin segera lulus agar tidak perlu berpisah lagi dengan mereka, apa lagi menangis di telepon. Aku selalu menahannya. Selalu menyembunyikannya. Aku akan menangis di tempat dan waktu yang lain.
Tapi hari ini, tadi pagi, aku menelpon rumah. Berbicara sebentar dengan mama, pembicaraan yang ringan. Tapi air mataku sudah menggenang. Tetap berusaha kutahan agak suaraku tidak bergetar dan itu susah sekali. Lalu telepon kuberikan pada tanteku (aku lebaran di rumah tanteku, di Bangil, dekat dengan Malang). Sementara aku menangis di kamar. Tapi tangisanku hanya pelan. Begitu tante memberikan lagi teleponnya padaku, mama mulai berbicara banyak hal. Menyuruhku ikut ke Surabaya, bertemu keluarga besar mama. Aku tidak begitu memperhatikan. Aku hanya terbayang mama, memeluknya, menciumnya. Menangis melepas rindu. Begitu juga papa. Aku akhirnya menangis. Mama terus berbicara meskipun aku menangis. Mama mengira aku menangis karena dimarahi mama. Padahal aku mengiyakan semua perintah mama saat itu. Lalu mama tanya, "Terus kenapa nangis?"
Terbata-bata sambil menangis aku menjawab, "Kangenka' Mama," (aku kangen mama, bahasa makassar). Mama langsung diam, cukup lama. Mama menghiburku, mengatakan masih bisa tahun depan. Mama bahkan berkata akan lebaran di Bangil sini tahun depan seandainya bisa. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menangis, terus menangis. Akhirnya aku bisa menunjukkan pada mama kalau aku sedih dan rindu sekali pada mama. Ini pertama kalinya menangis di telepon mama karena sedih tidak bisa berkumpul di lebaran idul fitri. Dan tiap mengenangnya (bahwa aku telah mengungkapkan perasaanku), aku tersenyum sambil menangis. Senyum karena bagiku indah dan menyenangkan karena Mama-Papa tahu perasaanku, dan menangis karena masih sangat rindu mereka.
Papa, Mama. Aku rindu sekali mereka. Rindu hangatnya rumah. Sekarang ini, tidak ada masak besar, tidak ada kue hari raya, tidak ada kerja bakti membersihkan rumah. Tidak ada baju baru. Tidak ada menunggu pawai lomba takbiran keliling di depan rumah. Haha. Aku hanya rindu, bukannya tidak bersyukur. Hanya saja, rindu sekali rasanya :')
Jadi, ada cara Tuhan tersendiri membuat kita saling menyayangi meskipun jauh. Harapan terbesarku kini adalah membahagiakan mereka. Selalu ada untuk mereka. Menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi terkadang aku juga harus realistis. Aku sebentar lagi dewasa dan menikah. Yah, aku berharap bisa menikah dengan orang yang disayang orang tuaku dan juga menyayangi orang tuaku. Sehingga jalanku berbakti pada orang tua tetap terbuka lebar.
Catatan lebaran kali ini memberiku pengalaman yang unik sekali. Aku tidak pernah menyangka akan mengalaminya. Lebaran idul fitri tidak bersama Mama-Papa dan saudara2. Tidak di rumah. Aku sudah dewasa, kan, artinya? :) Manusia oleh Allah diumpamakan pohon kurma. Benihnya ditanam di padang pasir dan tepat di atas benih diletakkan batu keras yang memaksa benih menguatkan akar meski pertumbuhannya ke atas terhalang batu. Karena benih yang tidak ditumpuki batu tidak akan menjadi pohon kurma yang kuat bertahan di padang pasir meskipun badai angin menerpa. Kita juga begitu. Lebih baik diawali dengan yang susah, kan? Mumpung masih muda. Nanti dewasa akan jadi orang yang kuat dan tahan uji. Amiiin. Jangan lelah ya dengan batu besar yang menyusahkan kita. Sebentar lagi kita akan menggulingkannya dan menjadi sukses setelahnya. Haha. Keep optimist.
Besok aku ke Surabaya. Ke tempat keluarga besar mama. Mama bilang, di sana aku akan menemukan 'Mama-Mama' versi lain (kakak2nya mama). Haha. Papa juga mirip dengan kakak2nya. Tadi aku sudah ke rumah Pakdeku, mirip sekali dengan Papa. Sedikit mengobati rinduku. Terlebih di sana ada Mbahku satu2nya yang masih hidup. Yaitu Ibunya Papa. Hmm.. Keluargaku banyak ya. Alhamdulillah :) :D
Bagaimana nanti kalo aku udah berkeluarga, yaaa? Ups. Jadi out of the topic nih. Haha.
Selamat hari raya idul fitri, yaaa.. Mohon maaf lahir dan batin.. Taqobbalalloh minna wa minkum..
Malam 1 Syawal 1437 H.
Aku bukan anak yang mudah mengungkapkan perasaan, sekalipun kepada orang tuaku. Bagaimana aku tega berkeluh kesah tentang kehidupanku di perantauan, sementara mereka jauh di sana. Mereka akan khawatir. Padahal banyak hal yang bisa kusyukuri dan keluhanku tidak berdampak apa-apa kecuali perasaan susah dan berat pada orang tuaku nantinya. Lebih baik aku selalu ceria, mendengarkan cerita mereka tiap menelpon dari pada berkata betapa aku rindu mereka dan ingin segera lulus agar tidak perlu berpisah lagi dengan mereka, apa lagi menangis di telepon. Aku selalu menahannya. Selalu menyembunyikannya. Aku akan menangis di tempat dan waktu yang lain.
Tapi hari ini, tadi pagi, aku menelpon rumah. Berbicara sebentar dengan mama, pembicaraan yang ringan. Tapi air mataku sudah menggenang. Tetap berusaha kutahan agak suaraku tidak bergetar dan itu susah sekali. Lalu telepon kuberikan pada tanteku (aku lebaran di rumah tanteku, di Bangil, dekat dengan Malang). Sementara aku menangis di kamar. Tapi tangisanku hanya pelan. Begitu tante memberikan lagi teleponnya padaku, mama mulai berbicara banyak hal. Menyuruhku ikut ke Surabaya, bertemu keluarga besar mama. Aku tidak begitu memperhatikan. Aku hanya terbayang mama, memeluknya, menciumnya. Menangis melepas rindu. Begitu juga papa. Aku akhirnya menangis. Mama terus berbicara meskipun aku menangis. Mama mengira aku menangis karena dimarahi mama. Padahal aku mengiyakan semua perintah mama saat itu. Lalu mama tanya, "Terus kenapa nangis?"
Terbata-bata sambil menangis aku menjawab, "Kangenka' Mama," (aku kangen mama, bahasa makassar). Mama langsung diam, cukup lama. Mama menghiburku, mengatakan masih bisa tahun depan. Mama bahkan berkata akan lebaran di Bangil sini tahun depan seandainya bisa. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menangis, terus menangis. Akhirnya aku bisa menunjukkan pada mama kalau aku sedih dan rindu sekali pada mama. Ini pertama kalinya menangis di telepon mama karena sedih tidak bisa berkumpul di lebaran idul fitri. Dan tiap mengenangnya (bahwa aku telah mengungkapkan perasaanku), aku tersenyum sambil menangis. Senyum karena bagiku indah dan menyenangkan karena Mama-Papa tahu perasaanku, dan menangis karena masih sangat rindu mereka.
Papa, Mama. Aku rindu sekali mereka. Rindu hangatnya rumah. Sekarang ini, tidak ada masak besar, tidak ada kue hari raya, tidak ada kerja bakti membersihkan rumah. Tidak ada baju baru. Tidak ada menunggu pawai lomba takbiran keliling di depan rumah. Haha. Aku hanya rindu, bukannya tidak bersyukur. Hanya saja, rindu sekali rasanya :')
Jadi, ada cara Tuhan tersendiri membuat kita saling menyayangi meskipun jauh. Harapan terbesarku kini adalah membahagiakan mereka. Selalu ada untuk mereka. Menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi terkadang aku juga harus realistis. Aku sebentar lagi dewasa dan menikah. Yah, aku berharap bisa menikah dengan orang yang disayang orang tuaku dan juga menyayangi orang tuaku. Sehingga jalanku berbakti pada orang tua tetap terbuka lebar.
Catatan lebaran kali ini memberiku pengalaman yang unik sekali. Aku tidak pernah menyangka akan mengalaminya. Lebaran idul fitri tidak bersama Mama-Papa dan saudara2. Tidak di rumah. Aku sudah dewasa, kan, artinya? :) Manusia oleh Allah diumpamakan pohon kurma. Benihnya ditanam di padang pasir dan tepat di atas benih diletakkan batu keras yang memaksa benih menguatkan akar meski pertumbuhannya ke atas terhalang batu. Karena benih yang tidak ditumpuki batu tidak akan menjadi pohon kurma yang kuat bertahan di padang pasir meskipun badai angin menerpa. Kita juga begitu. Lebih baik diawali dengan yang susah, kan? Mumpung masih muda. Nanti dewasa akan jadi orang yang kuat dan tahan uji. Amiiin. Jangan lelah ya dengan batu besar yang menyusahkan kita. Sebentar lagi kita akan menggulingkannya dan menjadi sukses setelahnya. Haha. Keep optimist.
Besok aku ke Surabaya. Ke tempat keluarga besar mama. Mama bilang, di sana aku akan menemukan 'Mama-Mama' versi lain (kakak2nya mama). Haha. Papa juga mirip dengan kakak2nya. Tadi aku sudah ke rumah Pakdeku, mirip sekali dengan Papa. Sedikit mengobati rinduku. Terlebih di sana ada Mbahku satu2nya yang masih hidup. Yaitu Ibunya Papa. Hmm.. Keluargaku banyak ya. Alhamdulillah :) :D
Bagaimana nanti kalo aku udah berkeluarga, yaaa? Ups. Jadi out of the topic nih. Haha.
Selamat hari raya idul fitri, yaaa.. Mohon maaf lahir dan batin.. Taqobbalalloh minna wa minkum..
Malam 1 Syawal 1437 H.
Komentar
Posting Komentar