Back to Hometown




Aku seharusnya lebih sering menulis disini. Aku harusnya lebih sering mengekspresikan perasaanku di sini. Tempat yang cukup aman dan nyaman. Haha. Sadar tidak sadar, memang selalu membuatku sedikit lega setelah mengunggah tulisan di sini. Memang aku kadang terkendala karena kurangnya waktu luang. Tapi, yah, sekarang aku sedang santai. Aku sedang di rumah :D
Aku akan bercerita tentang perasaan bahagiaku sejak sampai di tanah tempatku tumbuh menjadi remaja ini. Tanah yang menjadi cerita awal kehidupanku. Makassar. Aku hari itu sampai di bandara jam 9 malam kurang sedikit. Aku langsung mengirim sms pada Papa begitu aku sampai. Papa bilang, beliau menunggu di depan pintu kedatangan. Ketika aku melalui pintu itu, satu, umm... dua. Dua bocah yang sangat kurindukan melambaikan tangannya padaku. Satu bocah berwajah sumringah, ceria, agak berlebihan dan bocah yang satu lagi sangat tenang tapi terlihat bahagia. Itu dafa dan afif!
Di luar dugaanku, semua keluargaku menjemput ke bandara. Papa, Mama, Kak Ryan, Icha, Dafa dan Afif. Ini pertama kalinya aku dijemput satu keluarga! Aku merasa spesial diantara orang-orang spesialku. Papa telah meminta tetangga kami yang memiliki mobil untuk meminjamkan mobilnya sekaligus menyetirkan kami sekeluarga menjemputku. Hal yang paling kukagetkan adalah bocah-bocah kecilku yang dulu bagai boneka kini telah menjadi raksasa. Hahaha. Dafa afif telah lebih tinggi dariku yang memang mungil ini. Padahal mereka masih kelas 6 SD dan 1 SMP. Apalagi Dafa, suaranya sudah betul-betul berubah. Kadang aku suka mengerjainya dengan menunjukkan video masa kecilnya dengan suaranya yang masih cempreng.
Lalu sebelum pulang, kami singgah ke warung ayam bakar langganan orang tuaku. Enak sekaliiii... Ayam bakar bagian paha (paha atas sampai paha bawah), sambal dabu-dabu yang gurih, lalapan dan nasi hanya Rp18.000,00. Untuk yang seenak ini di Makassar, harga segitu cukup murah, lho. Padahal aku sariawan 3 biji, tapi aku makan dengan lahap. Mungkin karena kelaparan, juga bahagia karena akhirnya bisa makan dengan keluarga.
Aku selalu merasa tidak ingin pulang ketika sedang berada di perantauan. Tahu kenapa? Karena perasaan bahagia, euforia pulang yang sangat luar biasa itu, akan hilang ketika aku harus kembali ke perantauan. Tapi, pulang ke rumah adalah sesuatu yang sangat penting. Aku jadi bisa merasakan betapa ada orang-orang yang sangat menyayangiku di sini. Orang tua, saudara, sahabat sejak kecil, orang tua para sahabatku, tetangga-tetangga. Mereka begitu perhatian dan selalu menegurku karena bertubuh kecil. Mereka bilang, aku harus ‘penggemukan’ selama pulang ini.
Dengan pulang, aku jadi semakin kuat. Aku bisa betul-betul merasa, walaupun di perantauan nanti aku sendiri, aku punya orang-orang yang mendukungku, yang mengharapkanku sukses dan kembali pulang dengan membawa manfaat yang besar. Walaupun tidak seperti teman-teman lain yang bisa dengan mudah pulang kampung, atau bahkan orang tua mereka yang datang, aku tidak sendiri. Aku mungkin diarahkan untuk jadi lebih kuat. Memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain.
Aku bersyukur dengan hidupku sekarang. Aku bersyukur dengan apa yang kumiliki. Di Makassar, di Malang, di Jogja, di tempat orang-orang yang kusayang berada, semuanya berharga bagiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Langit

Harder Level

I See The Moon